Jumat, 21 November 2008

“DI BAWAH BAYANG-BAYANG POHON BAKAU”

“DI BAWAH BAYANG-BAYANG POHON BAKAU”

Oleh; Wahyudin - sanggar nuun

Lakon

Marji (suami usia 78 tahun)

Samiah (istri usia 63 tahun)

Rahmin (usia 55 tahun)

Samsani (usia 50 tahun)

Warga

(PAGI HARI DI TEPI LAUT DI DEPAN RUMAH MARJI TAMPAK MEMBERSIHKAN DIRI SETELAH MENANCAPKAN BEBERAPA BATANG POHON BAKAU. BEBERAPA SAAT SAMIAH KELUAR DARI DALAM RUMAH).

Samiah : Sudah pulang rupanya kau Marji?! Berapa banyak batang bakau yang kau tancapkan pagi ini?

Marji : Ya Lumayan.

Samiah : Lumayan, berapa tepatnya?

Marji : Ya lumayan, cukup! Cukup banyak.

Samiah : Yang aku tanyakan jumlahnya, Marji. Tepatnya berapa?

Marji : Sedikit lebih banyak dari kemarin, istriku.

Samiah : Wajahmu tampak senang, sepertinya kau berhasil menanam banyak bakau atau kau memang sedang gembira hari ini.

Marji : Ya, banyak. Tapi aku tak menghitungnya…tidak ada teh panas untukku istriku?

(SAMIAH TERDIAM BEBERAPA SAAT, MARJI MENATAP DALAM WAJAH SAMIAH)

Marji : Kau tidak menyediakannya untukku istriku? Padahal katamu aku sedang gembira pagi ini, tapi rasanya kau malah sebaliknya. Apa kau tidak sedang bahagia hari ini?

Samiah : Kau sudah tahu Marji, pagi ini tidak ada teh panas. Tapi bukan berarti aku tidak bahagia.

Marji : Tapi kenapa tidak menyediakan teh panas, istriku?

(MARJI TERDIAM, BEBERAPA SAAT MENATAP SAMIAH YANG JUGA TAMPAK GELISAH)

Marji : Kau tampak berbeda hari ini Samiah, perkataan dan raut mukamu menunjukan itu. Apa kau tidak suka dengan apa yang aku lakukan setiap hari, menanam dan meyiangi bakau?

Samiah : Tidak, aku suka! Aku menyukai apa yang kau kerjakan setiap hari suamiku, bahkan aku bangga.

Marji : Tapi…Kenapa kau tidak menyediakan teh panas seperti biasanya?

Samiah : Memang tidak.

Marji : Apa gula dan tehnya habis? Atau kita tidak mempunyai persediaan air hujan untuk dimasak?

Samiah : Mungkin.

Marji : Mungkin??! Mungkin bagaimana? Kau mulai aneh istriku, beberapa hari ini kau telah berkata dan bersikap aneh denganku dan sejak aku datang aku menemukan sikap itu ada padamu.

Samiah : Aneh? Aneh bagaimana?

Marji : Ya aneh…alasanmu itu yang aneh.

Samiah : Hari ini aku tidak melihat isi dapur, aku tidak memasak! Ini sudah jelas kan, tidak aneh lagi!

Marji : Kau sedang sakit?

Samiah : Tidak.

(MARJI KEMBALI TERDIAM, MERENUNG, MATANYA BEBERAPA KALI MELIRIK SAMIAH)

Marji : Pohon bakau yang aku tanam sebagian sudah tua dan ada beberapa rantingnya yang sudah kering, besok aku akan mengambil dan mengumpulkannya. Kau bisa menjualnya ke pasar dan kita bisa mendapatkan uang untuk belanja.

Samiah : Tidak perlu repot-repot kau memikirkan uang belanja Marji. Uang itu biar aku saja yang mencari dan kau bisa bangun pagi pergi ke tepi laut menanam bakau lalu kau bisa pulang dengan senang.

Marji : Ya sudah, itu cukup bagiku kalau kau juga merasa senang! Tapi aku tidak bisa senang kalau kau bersikap seperti itu.

(MARJI BERGERAK MENINGGALKAN SAMIAH NAMUN BEBERAPA SAAT BERHENTI MENDENGAR UCAPAN SAMIAH)

Samiah : Kau mau kemana, Suamiku?

(MARJI BERHENTI)

Marji : Tidak, aku tidak kemana-mana! Aku hanya ingin kembali ke tepi laut menengok pohon-pohon bakauku yang ada di sebelah timur. Dua minggu yang lalu aku menanamnya mungkin sudah ada yang mulai tumbuh.

Samiah : Apa kau tidak makan dulu? Kau marah denganku?

Marji : Bukankah katamu tadi tidak memasak?!

Samiah : Ya memang, tapi aku membeli nasi bungkus untuk sarapanmu. Kenapa kau sekarang berubah menjadi orang yang mudah tersinggung hanya dengan sedikit kata-kataku.

Marji : Aku tidak tersinggung dengan ucapan-ucapanmu istriku, tapi bukankah sebaliknya?

Samiah : Bukankah sudah aku jelaskan, aku tidak keberatan dengan apa yang kau kerjakan.

Marji : Syukurlah.

Samiah : Tapi kenapa kau mendadak berubah suamiku?

Marji : Aku hanya masih terpikirkan dengan pohon bakauku.

Samiah : Memang kenapa dengan tanaman bakaumu? Apa kau sudah lelah menanamnya? Apa kau merasa sudah tidak ada yang memperhatikan kegiatanmu hingga kau merasa tak ada manfaatnya ?

Marji : Bukan itu...

(SAMIAH MENDEKATI MARJI)

Samiah : Lalu kenapa? Kau tampak serius, apa masalahmu ?

Marji : Laut itu...

Samiah : Ada apa dengan laut? Bukankah dari dulu hidup kita tidak jauh dari laut? Jawabanmu semakin tidak jelas seperti itu suamiku.

Marji : Ya! Laut itu telah banyak merusak pohon-pohon bakauku. Harusnya kau sudah tahu, sebelah timur paling ujung sudah satu hektar lebih pohon bakau yang kutanam sekarang tinggal beberapa pucuk saja, belum lagi sebelah utaranya.

Samiah : Apa itu karena laut?

Marji : Ya! Semua rusak karena air laut dan...

Samiah : Dan apa? Bukankah pohon bakau itu tumbuh karena air laut. Kenapa kau malah menyalahkannya. Ucapanmu semakin aneh, suamiku.

Marji : Aneh? Apanya yang aneh?

Samiah : Alasanmu itu suamiku…

Marji : Ah... kau mulai meniru kata-kataku, istriku.

(SAMIAH TERSENYUM LALU MASUK KE DALAM RUMAH KEMUDIAN KELUAR MEMBAWA LILIN LALU MENYALAKANNYA)

Marji : Hari semakin panas, kau malah datang-datang menyalakan lilin, buat apa Samiah? Kau seperti orang tersesat dikegelapan malam.

Samiah : (TERSENYUM) he…he… sabar dulu suamiku ini hanya sedikit kejutan, bukankah hari ini ulang tahunmu? Aku tidak pernah melupakannya, bukankah kau juga tidak pernah melupakan hari ulang tahunku? Tapi maaf lilin ini tinggal setengah, aku tidak mampu membelinya yang masih utuh. Aku harap ini bisa sedikit membahagiakanmu? Silahkan ditiup dulu, lalu aku akan membuatkanmu segelas teh panas.

Marji : Kenapa harus ada ulang tahun istriku? Kau dengar bunyi ombak di belakng rumah kita? Ombak itu telah merobohkan pohon-pohon bakauku sampai aku lupa hari ulang tahunku, tapi kau selalu mengingatkanku kembali.

Samiah : Suamiku, kita sudah terlalu tua sampai kita sering lupa kapan tanggal lahir kita. Kau sibuk menanam bakau dan aku sibuk jual ranting kering di pasar, lilin ini bukan sekedar perayaan tapi sedikit peringatan bahwa tujuh puluh delapan tahun lalu telah lahir jabang bayi yang sampai hari ini masih kuat menatap langit dan berada di sampingku. (DIAM SESAAT) Sepertinya hidup kita akan berakhir seperti ini dan itu bukan pilihan kita.

Marji : Kau menyesali hidup seperti ini, istriku?

Samiah : Tentu tidak suamiku. Bukankah ini juga pilihan kita? Meski awalnya kita tidak pernah membayangkan hidup berdua di tepi laut seperti ini. Aku masih ingat waktu orang-orang kampung satu persatu meninggalkan tanah kelahiran mereka dan kau bersikeras tinggal di kampung ini. Mereka sudah tahu kalau kampung ini akan hilang ditelan ombak hingga mereka mau menjual tambak-tambak mereka.

Marji : Kau salah istriku. Untuk kali ini keyakinanmu keliru istriku.

Samiah : Maksudmu apa yang selama ini aku ketahui bukan yang sebenarnya? Tapi ini sudah terlalu lama suamiku, sejak para warga satu persatu meninggalkan kampung halaman ini.

Marji : Aku akan menceritakannya padamu tapi setelah kau membuatkan teh panas untukku.

Samiah : Teh panas?

Marji : Iya, teh panas.

Samiah : Bukahkah katamu hari sudah panas, kenapa kau malah memintaku membuatkan teh panas?

Marji : Kau mau dengar ceritanya tidak?

Samiah : Kau janji? Tapi kau juga harus tiup lilin ini.

Marji : Ya, aku janji.

(SAMIAH MASUK KE RUMAH MEMASAK AIR DAN MEMBUATKAN TEH UNTUK MARJI)

Marji : Ingat gulanya jangan terlalu banyak!

Samiah : Ya… aku tahu.

Marji : Oh ya, jangan lupa nasi bungkusnya istriku, tolong sekalian kau bawakan kemari.

Samiah : Ya… pasti suamiku.

(SAMIAH KELUAR DARI RUMAH, MEMBAWA SEGELAS TEH DAN NASI BUNGKUS)

Samiah : Ini nasi dan tehnya suamiku. Anggap saja ini hadiah ulang tahun yang ke tujuh puluh delapanmu dariku.

Marji : Terima kasih istriku. Tentu ini tidak pedas bukan? Mudah-mudahan ini sesuai dengan seleraku. Mari kita makan bersama nasi ini, anggap saja ini rejeki dari Tuhan yang tidak tertandingi pada hari ini.

Samiah : Kau masih suka romantis-ramantisan seperti dulu suamiku.

Marji : ha...ha.. kau juga seperti perawan yang masih ku kenal dulu, malu-malu dan suka merayu.

Samiah : Apa ceritamu?

Marji : Ya nanti setelah kita makan.

Samiah : Tapi kau sudah janji.

Marji : Iya nanti. Mari kita makan bersama.

(SAMIAH DAN MARJI DUDUK SALING BERHADAPAN MAKAN BERSAMA DAN BARU BEBERAPA SUAP TIBA-TIBA SAMSANI MUNCUL DARI LUAR)

Samsani : Selamat siang! Selamat siang pak Marji.

Marji : Selamat siang, maaf saudara menyapa saya?

Samsani : Benar. Saudara yang bernama Marji bukan? Aku Samsani dulu penduduk kampung ini, tentu kau masih ingat.

Marji : Sebentar, oh... Samsani, apa kabar? Mari silahkan duduk.

Samiah : Oh... pak Samsani

Samsani : Apa kabar Marji? Sudah terlalu lama kita tidak bertemu, wajahmu masih seperti yang dulu hampir tidak aku jumpai perubahan yang mencolok kecuali ubanmu yang semakin bertambah banyak dan raut mukamu yang sedikit menua.

Marji : He…he… ya Samsani, aku dengan istriku hampir tidak pernah berjumpa dengan orang lain setelah lebih dari lima belas tahun, hingga rasanya aku hanya tahu bahwa kami mengalami sedikit sekali perubahan.

Samiah : Samsani, sekarang kau tampak lebih bersih wajahmu tidak menunjukan umurmu yang bertambah tua. Kau sekarang tampak berbeda dengan kami, kecuali hanya tongkat penyanggamu itu yang menyamakan kita. Bukan begitu suamiku?

Marji : Benar istriku, Samsani sekarang kelihatan lebih bugar.

Samsani : Samiah, kau jangan seperti itu. Kita masih sama, masih seperti lima belas tahun yang lalu saat rumahku masih berada di kampung ini dan kita sering bertemu. Aku hanya pindah tempat yang jauh dari kampung ini, dan itu sekaligus membawa keberuntunganku hingga aku mengalami sedikit perubahan hidup. Mungkin kau juga sama telah mengalami banyak perubahan dan aku tidak mengetahuinya, bukan begitu Marji?

Marji : Samiah…cepat ambilkan air minum untuk Samsani. Kau tentu haus bukan Samsani? Kampung ini panas sekali kalau siang hari seperti ini dan tentu kau tidak akan betah kalau harus tinggal di kampung ini.

Samiah : Maaf Samsani tunggu sebentar di sini ya! Aku akan buatkan minum untukmu.

Samsani : Samiah… kau benar-benar masih seperti yang dulu selalu ingin menghormati tamu yang datang kemari. Tapi, tidak perlu repot-repot Marji, aku selalu membawa bekal minum sendiri kemanapun aku pergi jadi, kau tidak perlu menyediakan minum untukku.

Marji : Sudahlah jangan bersikap seperti itu, kau datang kemari berarti kau adalah tamuku dan sebagai tuan rumah aku wajib menjamumu.

(SAMSANI MENGELUARKAN BOTOL MINUMAN DARI DALAM TASNYA DAN SAMIAH TETAP MASUK KE RUMAH MEMBUATKAN MINUM)

Marji : Sebenarnya kau ada perlu apa hingga jauh-jauh datang kemari Samsani?

Samsani : Maaf Marji, sebenarnya aku hanya lewat di kampung ini dan aku mendengar kabar dari para pekerja di kilang minyak bahwa kau dan istrimu masih tinggal di sini mengembangkan hutan bakau di bekas kampung kita ini, jadi kuputuskan untuk mampir menemuimu.

Marji : Untunglah kau masih ingat aku dan kampung kita. Kau bekerja di kilang minyak itu Samsani?

Samsani : Ya lumayan! Sebenarnya sudah cukup lama aku bekerja di sana.

Marji : Kau bekerja di bagian apa?

Samsani : Lumayan sekarang aku menempati posisi penting, wakil direktur bagian pengembangan.

Marji : Tentu kau sudah mendapat kepercayaan dari pemilik perusahaan itu, hingga kau sampai menduduki jabatan penting bukan?

Samsani : Ya begitulah Marji. Dan, kebetulan sekali aku bisa bertemu denganmu saat ini mungkin kau bisa membantuku di perusahaan itu.

Marji : Membantumu? Apa menurutmu aku bisa membantumu, bukankah kau sendiri telah memiliki jabatan penting di perusahaan itu? Aku sendiri tidak yakin. Kau lihat sendiri, pekerjaanku hanya menanam bakau sepanjang tepi laut di bekas kampung kita dan hanya itu yang menjadi pengalamanku dan istriku.

Samsani : Karena itulah aku ingin memintamu bersedia membantuku untuk perusahaan kilang minyak itu. Kau memiliki banyak lahan bakau, itu sudah cukup sebagai modal untuk bisa bekerja di perusahaan kilang minyak tempatku bekerja, di tambah lagi kau pernah mengenyam bangku sekolah. Itu modal yang luar biasa Marji.

Marji : Sudahlah saudaraku Samsani, kau terlalu berangan-angan untukku, kedatanganmu sudah cukup menghiburku lagi pula lahan bakau itu semata-mata bukan milikku, aku hanya menanam dan merawat di bekas kampung kita.

Samsani : Tapi aku serius Marji, aku ingin kau bisa membantuku bekerja di kilang minyak itu dan kau bisa menikmati masa tuamu dengan bekerja tidak terlalu berat, tidak seperti yang kau lakukan saat ini. Aku tahu, dari dulu kau adalah orang yang tidak ingin banyak keinginan dan maaf kalau aku kelihatan sedikit memaksamu.

Marji : Tidak apa-apa Samsani. Mungkin lain kali tawaranmu aku pilih.

Samsani : Ya tidak usah terlalu dipikirkan, Marji. Sekali lagi aku hanya ingin melihatmu lebih dari sekarang ini. Kau tentu mengerti umur kita semakin tua dan tentu kau ingin hidup bahagia, bukan?

Marji : Ya mungkin. Tapi, aku cukup bahagia di sini bisa merawat dan menanam bakau.

Samsani : Aku heran, kau hidup hampir tidak memiliki apa-apa tapi kau bilang kau bahagia. Mungkin kau akan lebih bahagia kalau memiliki segalanya.

Marji : Apakah itu mungkin bagiku Samsani?

Samsani : Tentu Marji! Bukankah manusia akan hidup bahagia kalau bisa memiliki segala yang diinginkan. Kau bisa hidup dan tinggal di kota setelah kau bekerja di perusahaan itu. Pihak perusahaan akan memberimu rumah dinas, uang gaji, uang bonus dan santunan hari tua. Bukankah itu lebih membahagiakan Marji karena semua akan kau miliki?

Marji : Apakah mungkin aku akan memiliki semua, Marji?

Samsani : Itu sudah pasti, Marji! Semua hakmu akan kau miliki, hidupmu jauh lebih baik dari saat ini.

Marji : Maaf tadi kau bilang aku bisa membantumu, apa yang bisa aku bantu untukmu Samsani?

Samsani : Itu soal paling gampang Marji yang penting ada keteguhan hati bahwa kau mau berubah hidup lebih baik, itu modal awalmu.

Marji : Lalu, katamu aku juga memiliki modal di lahan bakauku? Anggap saja aku orang yang sedang belajar bagaimana memanfaatkan pohon bakau lebih baik.

Samsani : Santai sedikit Marji, ini bukan soal kursus singkat atau tukar guling atau pinjam-meminjam. Anggap saja kita bekerjasama saling menguntungkan. Maksudku begini Marji, kau telah memiliki lahan bakau yang begitu luas atau lebih tepatnya kau telah menyelamatkan sebagian besar kampung ini dan kita bisa memanfaatkan lahan bakau itu untuk masa depan kita.

Marji : Aku belum mengerti maksudmu Samsani?

Samsani : Sederhananya begini Marji, perusahaan kilang minyak tempatku bekerja memintaku untuk mengembangkan daerah tepi laut sebagai pelabuhan tempat pembongkaran minyak, dan aku melihat daerah ini yang memungkinkan untuk hal itu. Jadi, bagaimana kalau lahan bakaumu kita jadikan tempat itu?

(MARJI LANGSUNG TERDIAM, MEMATUNG)

Samsani : Aku tahu, tentu kau agak keberatan melepas tawaranku, tapi kau bisa membayangkan ini bukan semata-mata demi kita tapi juga kepentingan hidup orang banyak, demi masyarakat luas yang membutuhkan banyak minyak, bukankah itu alasan yang mulia Marji?

Marji : Mungkin tidak Samsani!

Samsani : Maksudmu, itu tidak mungkin?

Marji : Bagaimana kalau aku menolak permintaanmu itu, Samsani?

Samsani : Aku tahu dari awal hal ini agak memberatkanmu, juga bagiku untuk menyampaikan hal ini padamu. Ya! bagaimanapun kau punya alasan untuk menolak permintaanku, tapi kau bisa bayangkan apa yang akan terjadi dengan masyarakat lainnya, jika mereka harus mengantri membeli minyak hanya karena alasan kapal-kapal minyak tidak bisa bongkar minyak dengan cepat.

Marji : Samsani, aku punya alasan yang tepat kenapa aku harus menolak penawaranmu itu. Dan itu bukan karena aku tidak iba pada mereka yang mengantri minyak.

Samsani : Baiklah Marji, kau punya alasan yang tidak perlu aku ketahui, tapi bagaimana kalau aku memintamu separuh atau seperempat dari lahan bakaumu mungkin kau akan menerimya?

Marji : Tidak! (MENGHELA NAFAS) Maaf Samsani aku menolak permintaanmu! Dan kau harus mengetahui alasanku karena kau bukan orang bodoh.

Samsani : Maksudmu?

Marji : Kau tentu ingat lima belas tahun yang lalu, saat orang-orang kampung ini pergi meninggalkan rumah dan tambak mereka, bukan?

Samsani : Ya aku ingat! Mereka pergi karena mereka ketakutan, rumah dan tambak mereka akan hilang ditelan ombak laut dalam waktu satu tahun.

Marji : Bukan hanya itu Samsani, kau tahu cerita selanjutnya bahwa mereka akhirnya menjual tambak mereka dengan harga sangat murah ke pihak pengembang kilang minyak itu. Bahkan mereka yang pindah tidak dapat membeli tanah untuk membangun rumah. Mereka pergi entah kemana, yang jelas mereka tidak bisa meminta kembali tambak yang mereka jual. Yang aku tahu bahwa pihak pengembang telah menebarkan isu palsu dan cerita itu yang sesungguhnya terjadi Samsani.

Samsani : Dan kau menganggap aku sama dengan pihak pengembang yang dulu itu? Atau kau mengira aku bagian dari mereka?

Marji : Mungkin.

Samsani : Itu hanya cerita masa lalu Marji dan cerita itu kini telah berubah tapi kau masih mengingat-ingat cerita yang tidak tahu kebenarannya. Dan sekali lagi aku tegaskan bahwa aku bukan dari bagian mereka.

Marji : Apa kau berpikir kau lebih tahu dariku tentang kepergian para warga dari kampung ini? Apa kau berpikir bahwa tambak-tambak para warga yang dijual hanya karena alasan abrasi semata? Samsani, kalau kau masih mempunyai pikiran seperti itu berarti bagiku kau masih bagian dari mereka.

Samsani : Kau terus mendesakku Marji dengan ceritamu itu.

Marji : Apa kau merasa didesak olehku Samsani! Tapi kalau alasanmu seperti itu aku akan tetap membantahmu. Sudahlah, hari mulai mendung mungkin tawaranmu cukup bagiku Samsani. Istriku, cepat! Kenapa kau lama sekali!

(SAMIAH KELUAR MEMBAWA AIR MINUM DAN MELETAKKANNYA DI KURSI)

Samiah : Maaf Samsani airnya agak lama.

Samsani : Terima kasih Samiah.

Marji : Kau mendengar percakapan kami, istriku?

Samiah : Sedikit.

Marji : Itu lah cerita sesungguhnya tentang kampung kita yang ingin kau ketahui.

Samsani : Samiah, tentu kau tidak menuduhku sebagai seorang penghianat bukan? Maaf kalau ceritaku tidak mengenakan, aku hanya memberikan tawaran lagi pula cerita itu hanya masa lalu dan tawaranku saat ini untuk kehidupan lebih baik.

Samiah : Maksudmu, kau mau memberikan terbaik untuk kehidupan kami?

Samsani : Tepat sekali Samiah! Sebagai manusia biasa tentu ingin hidup lebih baik, bukankah kau juga menginginkannya? Pasti jawabannya “ya”! itu wajar Samiah dan kau pantas mendapatkannya karena kau juga manusia biasa sama sepertiku dan orang-orang lainnya.

Samiah : Tapi...

Samsani : Sekali lagi Samiah, inilah kehidupan dan orang harus berani berkorban untuk mendapatkan yang terbaik dalam pilihannya walaupun itu sangat memberatkan, itu semua demi cita-cita manusia itu sendiri.

Samiah : Tapi bakau itu...

Samsani : Itulah pengorbanan.

Marji : (TERIAK) Cukup Samsani! Istriku jangan kau sampai percaya dengan ucapan-ucapan manis Samsani. Itu adalah alasan busuk pihak pengembangan kilang minyak dan tidak ada janji-janji itu.

Samsani : Kau sudah menuduhku Marji, itu berarti kau telah sepakat untuk menentangku.

Marji : Dari awal aku memang sudah berbeda denganmu karena kau bukan bagian dari kami.

Samsani : Kau bicara seolah-olah kau mengetahui semua fakta dan memiliki segudang bukti, Marji.

(MARJI BERGERAK MENINGGALKAN SAMSANI DAN SAMIAH NAMUN DICEGAH SAMIAH)

Samiah : Kau mau kemana suamiku?!

Marji : Aku hanya mau membuktikan bahwa apa yang aku ucapkan benar. Aku akan menunjukan pada penjilat itu bahwa yang aku ucapkan adalah fakta.

Samiah : Sabar dulu suamiku, tenangkan dulu dirimu kau terlalu terbawa emosi.

Samsani : Pergilah Marji kalau kau bisa mencari bukti-bukti itu dan tunjukan padaku kalau aku bagian dari mereka!

Marji : Jaga ucapanmu Samsani! Kau menantangku Samsani, dasar penghianat!

(MARJI DENGAN PENUH EMOSI KELUAR MENINGGALKAN SAMIAH DAN SAMSANI. SAMIAH MENANGIS TERSENGGUK )

Samsani : Maafkan diriku Samiah, kalau kedatanganku hanya membawa beban berat bagimu. Sekali lagi maafkan aku, terus terang bukan maksudku untuk membuat keadaan seperti ini.

Samiah : Aku tahu, Samsani.

Samsani : Maaf Samiah, apa tawaranku salah hingga membuat Marji begitu keras menolaknya bahkan aku melihat di garis matanya untuk mempertahankan hutan bakau yang ia tanam.

Samiah : Kau meminta pendapatku Samsani? Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu. Aku hanya kecewa kenapa dalam waktu satu hari ini aku baru mengetahui cerita seluruhnya tentang kampung kita dan tidak lain karena kau orangnya.

Samsani : Tentu Marji sangat kecewa, benarkan Samiah?

Samiah : Kau mungkin belum tahu kalau suamiku sudah lima belas tahun mengabdikan dirinya untuk menanam bakau. Ia lelaki yang begitu keras Samsani, bahkan ia rela untuk tidak pindah dari kampung ini hanya untuk menghabiskan sisa hidupnya untuk menanam bakau.

Samsani : Tapi bukankah itu perbuatan bodoh?! sementara ia bisa meraih kehidupan yang lebih baik.

Samiah : Tentu tidak bagi kami, apalagi bagi Marji, suamiku. Kami telah sepakat bahwa kami harus menjaga kampung ini, meski semua penduduknya telah pergi entah kemana.

Samsani : Tampaknya kau tidak memiliki keinginan sedikitpun untuk berubah, Samiah.

Samiah : Kau salah Samsani.

Samsani : Makudmu?

Samiah : Suamiku lebih tahu tentang segala hal dari hutan bakau yang ia tanam dan ia tidak rela untuk menjualnya atau menukarnya dengan apapun. Kau tidak tahu bahwa telah banyak orang-orang sepertimu yang datang menemui suamiku meminta lahan bakau yang ia tanam, bahkan sebagian dari perusahaan tempatmu bekerja. Kau paham maksudku? Awalnya aku tidak tahu tapi setelah mendengar langsung ceritamu, aku paham bahwa kerusakan kampung ini adalah karena juga dari tempatmu bekerja.

Samsani : Kau yakin dengan apa yang suamimu katakan?

Samiah : Aku telah menemani suamiku lebih dari lima puluh tahun dan ia tidak pernah sedikitpun menyakitiku. Aku percaya pada apa yang ia katakan dan yang ia lakukan, begitupun sebaliknya.

Samsani : Aneh!

Samiah : Tidak ada yang aneh Samsani, kalau kau memahami apa yang aku katakan atau menjalani seperti yang aku dan suamiku alami.

Samsani : Kau seperti orang yang hidup di masa kita kecil saja, memahami persoalan dengan begitu sederhana dan menyelesaikannya dengan begitu mudahnya.

Samiah : Itulah perbedaan kita Samsani.

Samsani : Kita sama-sama penduduk kampung ini, Samiah. Tidak ada yang membedakan kita, kau hidup dari laut dan aku pun sama. Kita melewati persoalan yang sama seperti persoalan yang di hadapi kampung ini.

Samiah : Tapi cara kita berbeda dalam memahami persoalan itu sehingga jalan keluar yang kita caripun berbeda, itulah kau dan aku Samsani.

Samsani : Sudahlah Samiah, aku tidak ingin membuang waktu dengan berdebat denganmu. Apa kau tahu kemana perginya suamimu?

Samiah : Aku tidak tahu Samsani, mungkin ia mencari Rahmin.

Samsani : Rahmin (DIAM SESAAT) Maksudmu..Rahmin mantan kepala desa kampung kita?

Samiah : Iya.

Samsani : Rahmin yang sekarang tinggal di kampung sebelah?

Samiah : Iya, kau masih mengenalnya bukan?

(SAMSANI MULAI GUGUP, BERJALAN MONDAR-MANDIR MENGELILINGI SAMIAH)

Samiah : Kenapa kau tampak gugup seperti itu Samsani? Ada apa dengan Rahmin? Bukankah kau dulu sangat dekat dengannya?

Samsani : Tidak mungkin! Bukankah Rahmin sudah meninggal tiga tahun yang lalu?

Samiah : Siapa yang menebarkan berita itu? Dua minggu yang lalu ia masih kujumpai di tepi laut sedang menjaring ikan, ia bahkan menyapaku. Kau masih tidak percaya kalau Rahmin masih hidup? Kalau dugaanku benar mungkin ia akan datang kemari bersama suamiku.

Samsani : Kau serius Samiah?

Samiah : Apa aku kelihatan sedang bergurau Samsani.

(MARJI DATANG DIIKUTI RAHMIN DAN SAMSANI MELANGKAH PERGI MENGHINDAR, NAMUN BARU BEBERAPA LANGKAH DI PANGGIL MARJI)

Marji : Aku kembali dan kau malah mau pergi Samsani, bukankah kau menagih bukti dan fakta dariku?

Samsani : (GUGUP) Aku tidak kemana-mana. Aku hanya menunggu bukti darimu bukankah kau mau menunjukan itu? Bukankah kau yang bernama Rahmin? Apa kabar Rahmin?

Rahmin : Baik, seperti yang kau lihat Samsani, aku masih sehat .

Marji : Aku membawakanmu bukti dan fakta dari apa yang aku ucapkan Samsani. Kebetulan sekali kau masih ingat Rahmin mantan kepala desa kita. Dia adalah bukti dari sekian perkataanku. Rahmin tolong kau ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi dengan kampung kita, seperti sedikit ceritamu kepadaku.

Samsani : (MENGANCAM) Memang bukti apa yang kau miliki Rahmin? Hingga kau tiba-tiba ikut membela Marji.

Rahmin : Aku hanya ingin menceritakan apa yang sesungguhnya terjadi di kampung kita. Dan maaf Samsani, sebagian dari ceritaku memang sudah pernah aku ceritakan pada Marji. Kau keberatan dengan apa yang akan aku ceritakan Samsani?

Samsani : Tentu tidak! Asal kau menceritakan yang sebenarnya dan ingat jika kau berani membuat-buat ceritamu atau kau berani berbohong denganku, tanganku masih kuat untuk menghantam dadamu Rahmin meski kau dulu atasanku. Ceritakanlah Rahmin!

Marji : Kenapa kau mengancam Rahmin, Samsani! Kau takut?

Samsani : Tidak!

Rahmin : Kau tentu masih ingat Samsani, lima belas tahun yang lalu saat orang-orang kampung ini pergi. Saat itu aku masih menjabat sebagai lurah dan kalau tidak salah, waktu itu kau menjadi sekertaris desa. Kau ingat saat pertama kali isu abrasi dimulai? Dan cerita bahwa satu tahun lagi desa ini akan hilang ditelan laut?

Samsani : Ya! Aku masih mengingat semua Rahmin.

Rahmin : Kau juga tentu masih ingat, bahwa kau mengusulkan padaku agar orang-orang kampung segera disuruh pindah ke daerah lain dan menjual tambak mereka ke pihak pengembang kilang minyak itu. Waktu itu kau datang ke balai desa dengan pihak pengembang kilang minyak dan memberikan alasan itu.

Samsani : Tepat sekali Rahmin! Dan fakta memang terjadi, setahun kemudian kampung ini mulai mengalami abrasi karena air laut. Lalu apa masalahnya hingga kau menyalahkanku dengan cerita semacam itu?

Rahmin : Tapi... tunggu sebentar Samsani.

Samsani : (MENUNJUK RAHMIN) Kau seolah-olah melupakan satu hal yang paling penting dari keberadaanmu dan keberadaanku saat itu!

Marji : Ceritakanlah yang sesungguhnya Rahmin.

Rahmin : Baiklah Marji, awalnya Samsani memintaku untuk meloloskan ijin proyek pengembangan kilang minyak, dengan alasan bahwa desa ini akan bertambah maju dengan adanya pelebaran proyek itu. Lalu, aku belum sepenuhnya yakin dengan alasan tersebut dan aku menolaknya, lalu beberapa hari kemudian Samsani datang dengan pihak pengembang dan meyakinkanku bahwa desa ini akan hilang dalam waktu satu tahun ditelan ombak dan sebagai jalan keluarnya warga harus segera pindah dan menjual tambak mereka ke pihak pengembang kalau tidak ingin mengalami kerugian yang bertambah besar.

Samsani : Apa waktu itu aku memaksamu untuk menuruti permintaanku?

Rahmin : Ya Samsani! Karena setelah kau memberikan alasan itu kau memberiku uang kepercayaan sebesar lima juta dan memintaku dengan sangat, dengan alasan demi keselamatan semua warga yang tinggal di kampung ini.

Samiah : Maksudmu kau disuap Samsani, Rahmin?

Rahmin : Ya, seperti itulah tepatnya.

Samsani : Bukankah seperti kataku, satu tahun kemudian abrasi mulai melanda kampung kita.

Rahmin : Faktanya tidak sampai di situ Samsani, satu tahun kemudian perusahaan itu tetap mengembangkan perusahaannya dan kau tahu kapal-kapal mulai beroperasi di tepi pantai.

Samsani : Apakah itu suatu kesalahan? Aku tidak yakin.

Rahmin : Kau tahu kapal-kapal itu mulai sering melewati garis tepi pantai dan bahkan menepi hingga gelombang ombak kapal-kapal itu menghancurkan seluruh tambak dan sampai saat telah menghilangkan kampung kita. Dan yang lebih menyakitkanku ternyata kau berada di balik semua cerita itu!

Samsani : Apa kau punya buktinya Rahmin?

Rahmin : Kertas-kertas ini buktinya! Kau telah memalsukan seluruh tanda tanganku untuk perijinan perusahaan itu, aku menemukan salinannya tidak sengaja ketika aku membersihkan kantor kelurahan dan mengakhiri tugasku di kelurahan dua belas tahun yang lalu.

(SAMSANI MEREBUT KERTAS YANG SEDANG DIBAWA RAHMIN LALU MEMBACANYA PERLAHAN-LAHAN)

Rahmin : Maafkan aku Samsani, meski lebih dari sepuluh tahun dari kejadian itu kau masih memberikan imbalan untukku dari hasil kerjamu tapi ini kenyataan yang harus aku ceritakan, meski itu pahit untuk diketahui.

Samsani : Kau membohongiku Rahmin!

(SAMSANI MELOMPAT LALU MENCEKIK LEHER RAHMIN, NAMUN RAHMIN MEMBERONTAK)

Rahmin : Kenapa kau takut pada kenyataan yang kau ciptakan sendiri, Samsani! Kau menyesal mempercayaiku...? Maaf Samsani, kalau aku harus membongkar rahasiamu.

Samsani : Tapi kau sudah...

Marji : Sudahlah Samsani! Kita telah mengetahui semuanya, tidak ada lagi rahasia yang harus kita tutup-tutupi. Biarkan aku melanjutkan pekerjaanku, menanam dan merawat pohon bakau di bekas kampung kita.

Samsani : Aku...

Samiah : Hari sudah sore Samsani, sebentar lagi para warga dari kampung sebelah akan pergi melaut mereka akan melewati tepi laut di belakang rumahku. Aku akan berusaha menyimpan rahasiamu, Samsani dan aku harap suamiku dan Rahmin mau menjaganya, cukup kita saja yang mengetahui rahasia ini.

(DARI KEJAUHAN TERDENGAR RIUH SUARA BEBERAPA WARGA BERANGKAT MELAUT. LAMPU BLACK OUT TAPI SUARA PARA WARGA TERDENGAR MENDEKAT KEMUDIAN MENJAUH SEMAKIN HILANG)

-selesai-

Copyright 200

0 komentar: